June 28, 2025

Eks Stafsus Sri Mulyani Bicara soal Pajak Pedagang di Toko Online: Antara Keadilan Fiskal dan Tantangan Regulasi

4 min read

Jakarta — pttogel Isu perpajakan kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan dari eks Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, yang menanggapi polemik terkait pajak bagi pedagang yang berjualan di toko online. Dalam pernyataannya, Yustinus menekankan pentingnya kebijakan pajak yang adil, menyeluruh, dan adaptif terhadap perkembangan zaman, termasuk pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.

Latar Belakang: Transformasi Ekonomi Menuju Era Digital

Perdagangan online (e-commerce) telah menjadi bagian vital dari perekonomian nasional. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan platform seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, TikTok Shop (sebelum dilarang), hingga marketplace lintas negara seperti Amazon dan Alibaba, terjadi pergeseran besar dari aktivitas perdagangan konvensional menuju digital. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah dalam hal pengawasan, regulasi, serta pemungutan pajak.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor e-commerce terhadap PDB terus meningkat, terutama sejak pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan toko online belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional. Inilah yang menjadi sorotan utama dalam pernyataan Yustinus.

baca juga: jawaban-hasto-saat-dicecar-talangi-rp15-m-untuk-urus-paw-harun-masiku

Pernyataan Yustinus: Bukan Soal Membebani, Tapi Soal Keadilan

Dalam wawancara dengan sejumlah media, Yustinus menekankan bahwa isu utama bukanlah soal memungut pajak secara membabi buta, melainkan tentang level playing field atau keadilan fiskal. Ia menjelaskan bahwa pedagang toko offline selama ini sudah dikenai pajak, sedangkan sebagian pelaku usaha online masih belum tersentuh sistem perpajakan formal.

“Kita tidak sedang mencari-cari pendapatan semata. Ini adalah soal keadilan. Kalau pedagang di pasar konvensional dikenai pajak, maka pedagang online juga harus tunduk pada ketentuan yang sama, tentu dengan pendekatan yang proporsional,” ujarnya.

Yustinus juga menyinggung soal potensi penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang belum tergarap maksimal. Ia menyebutkan, pemerintah perlu menerapkan strategi pajak yang tidak mematikan UMKM, tetapi tetap menjamin kontribusi fiskal secara adil dan transparan.

Pro-Kontra di Tengah Masyarakat

Meski niat pemerintah dinilai baik, wacana pajak pedagang toko online kerap memicu polemik. Sebagian masyarakat menilai penerapan pajak di sektor ini justru memberatkan pelaku UMKM yang masih dalam tahap bertumbuh. Ada kekhawatiran bahwa kewajiban perpajakan akan menghambat digitalisasi usaha kecil.

Namun, Yustinus menegaskan bahwa pemerintah telah memiliki skema khusus bagi UMKM melalui tarif final pajak penghasilan (PPh Final UMKM) sebesar 0,5% dari omzet, yang berlaku hingga omzet Rp 4,8 miliar per tahun. Artinya, pelaku UMKM tetap mendapat perlakuan khusus dan tidak disamakan dengan perusahaan besar.

“Kita punya skema pajak UMKM yang ramah. Bahkan sebagian besar pelaku UMKM hanya diminta lapor saja dulu, tidak langsung membayar. Jadi narasi bahwa pemerintah mau ‘memeras’ UMKM itu keliru,” jelas Yustinus.

Tantangan Implementasi: Teknologi dan Edukasi

Penerapan pajak untuk pedagang toko online bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya literasi pajak di kalangan pelaku usaha digital, terutama pelaku UMKM. Banyak di antara mereka yang tidak mengetahui kewajiban perpajakan atau merasa sistem yang ada terlalu rumit untuk diakses.

Selain itu, dari sisi teknologi, masih dibutuhkan integrasi antara sistem e-commerce dan sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa platform sudah mulai melakukan integrasi API (application programming interface) dengan DJP untuk pelaporan data transaksi, namun belum semua marketplace menerapkan ini secara menyeluruh.

Pemerintah pun perlu berhati-hati agar kebijakan ini tidak justru menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku UMKM. Pendekatan persuasif dan edukatif menjadi kunci agar kebijakan ini bisa diterima dan dijalankan secara sukarela.

Respons Pemerintah dan Upaya Masa Depan

Kementerian Keuangan sendiri sudah sejak lama menyiapkan kerangka regulasi terkait pemajakan ekonomi digital. Salah satu bentuk implementasinya adalah pajak digital untuk perusahaan asing seperti Netflix, Google, dan Facebook yang beroperasi di Indonesia tanpa kehadiran fisik (PMSE – Perdagangan Melalui Sistem Elektronik).

Untuk pelaku domestik, DJP terus melakukan pembaruan sistem pelaporan dan pembayaran pajak yang lebih sederhana, termasuk peluncuran aplikasi e-form dan e-Bupot untuk pelaku usaha kecil. Selain itu, kerja sama lintas kementerian, termasuk dengan Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga terus dikuatkan.

Yustinus sendiri berharap bahwa wacana ini tidak disalahartikan oleh publik. Ia menekankan bahwa pajak adalah bagian dari gotong royong membangun negara, dan tidak seharusnya diposisikan sebagai musuh pelaku usaha.

“Kalau tidak sekarang kita tata, nanti akan lebih rumit. Dunia berubah. Kita butuh sistem perpajakan yang mengikuti zaman, adil, dan berkelanjutan,” tutupnya.

Penutup: Membangun Ekosistem Digital yang Adil

Pernyataan eks Stafsus Sri Mulyani ini seharusnya menjadi pengingat bahwa perkembangan ekonomi digital menuntut adaptasi kebijakan fiskal. Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga bentuk kontribusi terhadap pembangunan. Yang diperlukan kini adalah kebijakan yang proporsional, implementasi yang adil, serta komunikasi yang intens kepada pelaku usaha — khususnya UMKM — agar bisa tumbuh tanpa merasa terbebani.

Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, ekosistem ekonomi digital Indonesia bukan hanya bisa berkembang, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan keadilan fiskal bagi semua.

sumber artikel: wrphomestretch.com

More Stories

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.